Foto : Sumber Google |
Pengabdiannya pada Sarekat Islam, sebuah organisasi perjuangan sosial politik yang kuat pada masanya, dan keanggotaannya di Volksraad, dewan perwakilan kolonial Belanda, membuktikan perannya dalam berjuang untuk kemerdekaan dan perubahan. Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pertama, diberikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959, menunjukkan penghargaan yang diberikan negara atas kontribusinya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Stovia dan bekerja sebagai wartawan di Bandung, Abdoel Moeis bergabung dengan Sarekat Islam pada tahun 1913. Ia bahkan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda, menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan menyebarkan ide-ide perjuangan melalui media.
Namun, perjalanan hidupnya tidak bebas dari kontroversi. Tuduhan terlibat dalam pembunuhan pengawas Belanda di Toli-Toli pada tahun 1919 membayangi reputasinya. Ini mungkin merupakan dampak dari peran militannya dalam melawan penindasan Belanda. Pemilihan sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian dan kepemimpinannya dalam pemogokan buruh di Yogyakarta menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat.
Ketika diasingkan ke Garut, Abdul Muis melanjutkan perjuangannya dengan menulis. Novel terkenalnya "Salah Asuhan" adalah bukti nyata keterlibatannya dalam merespons dan menggambarkan masyarakat pada saat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terus berkontribusi dengan mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan, menunjukkan komitmen pada pembangunan dan kemajuan di Jawa Barat.
Karya-karyanya yang meliputi novel-novel seperti "Pertemuan Jodoh", "Surapati", dan "Robert Anak Surapati" tidak hanya menjadi cerminan zamannya, tetapi juga warisan sastra yang berharga dari seorang intelektual dengan semangat perubahan. Kematiannya pada tahun 1959 dan pemakamannya di TMP Cikutra, Bandung, menandai akhir dari kehidupan dan perjuangan seorang tokoh yang berdedikasi bagi bangsa dan tanah air.
Red
0 Komentar